Delapan Tahun Mencari Pengakuan
Program D-4 diciptakan untuk menjawab kebutuhan industri terhadap tenaga kerja yang benar-benar siap pakai. Sayangnya, banyak kalangan yang menganggap lulusan D-4 tidak labih bagus dari S1, atau bahkan D-3.
————–
SAAT ini, industri lebih tertarik kepada tenaga kerja tidak hanya memiliki kemampuan pada sektor manajerial. Kemampuan teknis dan pengetahuan di lapangan juga menjadi salah satu perhitungan. Itulah yang membuat Titon Dutono, direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya-Instutut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), optimistis mahasiswa yang mengambil program Diploma-4 akan cepat terserap kerja. Titon yakin mereka memiliki nilai plus dibanding lulusan S-1.
Memang, ada satu poin yang mengganjal Titon dan ratusan dosen lain di belasan politeknik di Nusantara. Pengetahuan masyarakat sendiri mengenai D-4 masih minim. Gaung program pendidikan yang mulai dikenalkan pada 1999 itu pun nyaris tak terdengar. “Masyarakat belum paham bahwa D-4 memiliki kualifikasi yang sama dengan S-1. Mereka juga menempuh 144 SKS (sistem kredit semester, Red). Sama persis,” tegas Titon.
Ya, kedua program itu memang tak jauh beda. D-4 dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1999. Pada UU Nomor 23 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional pun, telah mengatur kesetaraan jenjang D-4 dengan S-1.
Pada dasarnya, yang membedakan pendidikan S-1 dan D-4 adalah kegiatan praktik. Pada program D-4, praktik dan teorinya berkisar 50-50. Mereka diberi fasilitas untuk berpraktik di 35 teaching laboratory. Mereka pun mendapatkan materi pengajaran yang lebih luas dibandingkan dengan mahasiswa D-3. Proyeksi akhir, apabila bekerja di industri, mereka mengerti manajerial dan menguasai lapangan. Ini, jelas sedikit lebih tinggi daripada alumnus D-3. “Cakupan teknologi yang diberikan kepada mahasiswa D-4 lebih besar,” kata Titon.
Dia lantas mengambil contoh mata kuliah sistem komunikasi digital yang diberikan kepada mahasiswa D-3. Mata kuliah tersebut hanya diberikan selintas. Namun, di D-4, mata pelajaran itu dikupas habis hingga objek bergerak dan lain sebagainya.
Sistem pendidikan D-4 adalah paket dengan kelas kecil, maksimal 30 mahasiswa per kelas. Mereka akan mendapat gelar sarjana sains terapan (SST) ketika lulus. Dari poin tersebut, Titon mengatakan bahwa tak ada yang berbeda dengan S-1. “Sama-sama sarjana, hanya fokusnya yang berbeda,” tegasnya.
S-1 difokuskan untuk mengembangkan teknologi, sedang D-4 untuk penerapan. Sehingga lulusan D-4, kata Titon, lebih andal untuk mengurusi hal-hal di lapangan. “Itulah yang dibutuhkan industri,” kata dosen matematika terapan itu.
Nah, untuk menyosialisasikan eksistensi mereka, dibutuhkan tenaga ekstra oleh institusi pendidikan. Kampus harus mengadakan pendekatan intensif pada perusahaan-perusahaan yang dirasa cocok dengan alumninya. Selama ini, yang dilakukan PENS-ITS adalah bekerja sama dengan SAC (Students Advisory Centre) ITS.
SAC adalah salah satu tempat di mana mahasiswa dapat bertanya mengenai peluang karir di sebuah perusahaan. SAC juga menjembatani perusahaan-perusahaan yang mencari lulusan yang pas. Titon beserta tim PENS-ITS selalu melakukan pendekatan. “Pernah suatu ketika mahasiswa kami ditolak salah satu perusahaan yang mencari lewat SAC, karena mereka lulusan D-4. Mereka bilang mencari yang sarjana,” katanya.
Tak tinggal diam, Titon lantas berinisiatif bertemu dengan pihak perusahaan. Dia menjelaskan program pendidikan D-4 yang tak beda dengan S-1. Bahkan, mereka memiliki nilai plus lewat banyaknya jam praktik. Tak urung perusahaan itu lantas kesengsem. Dari situ hubungan terus dibangun dengan baik.
Sosialisasi yang tak putus adalah kunci sukses PENS-ITS dalam penyerapan alumni. Para alumni yang telah sukses di berbagai perusahaan diminta tak henti berkampanye mengenai program D-4.
Di dunia kerja, PT Maspion Group adalah salah satu perusahaan yang tidak membedakan lulusan S-1 dan D-4. Menurut Suharto, Asistent Director Maspion Group, di Maspion Group-mereka yang menyandang lulusan D-4 sudah menghuni berbagai lini perusahaan. “Ada yang bagian staf akuntansi, administrasi, marketing, hingga staf manajer. Mereka ditempatkan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki,” paparnya.
Dijelaskan Suharto, lulusan S-1 tidak menjamin ready to use atau siap pakai. Mereka, menurutnya, harus ditrainning terlebih dulu. Itulah sebabnya, lulusan S-1 tidak langsung diterima sebagai pegawai tetap. “Pun demikian halnya dengan D-4, harus mendapat trainning. Sehingga, tidak ada pembedaan perlakukan,” tuturnya. Sebab, sekarang ini, baru 30 persen mereka yang lulusan S-1/D-4 siap kerja.
Hanya, lanjut Suharto, dalam rekruitmen pegawai, status akademik seseorang memang menjadi perhatian. Pertama, untuk memetakan seseorang ditempatkan dimana sesuai dengan jenjang akademiknya. Kedua, status akademik menentukan besarnya gaji yang diberikan. “Tidak mungkin mereka yang lulusan SMA disetarakan dengan lulusan S1 atau D4,” terang alumnus STIKOSA-AWS itu.
Meski demikian, kata Suharto, tiap perusahaan atau industri memiliki kebijakan yang tidak sama. “Namun, secara umum seperti itu,” imbuh pria asli Surabaya itu. Yang pasti, lanjutnya, ada beberapa kriteria yang dipatok perusahaan ketika merekrut calon pegawai. Pertama, melihat status akademiknya. Kedua, skill atau ketrampilan yang dimiliki seseorang. “Sebab, banyak juga mereka yang hanya lulusan SMK lebih unggul daripada mereka yang lulusan S1,” tuturnya.
Ditambahkan Suharto, tren yang terjadi di dunia kerja saat ini adalah peningkatan status akademik untuk menunjang peningkatan karir. “Sehingga, mereka yang lulusan D-4/S-1 tidak berhenti sampai disitu. Fenomena di perusahaan kami, banyak yang melanjutkan dengan mengambil S-2 sekarang ini,” ungkapnya. (anita rachman/titik andriyani)
sumber : jawapos 25/06/07